Selasa_MBKM : PMM Batch 4 “Observasi dan Wawancara Sejarah Kerajaan Istano Basa Pagaruyuang di Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat”

Selasa_MBKM : PMM Batch 4 “Observasi dan Wawancara Sejarah Kerajaan Istano Basa Pagaruyuang di Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat”

Mahasiswa Jurusan Televisi dan Film, Fakultas Budaya dan Media ISBI Bandung, Wanda Eka Junior menjalani program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) Batch 4 Inbound di Universitas Negeri Padang, Kota Padang, Sumatera Barat. Menurut Wanda, selain berkuliah, PMM memberikan pengajaran yang luar biasa untuk mempelajari budaya setempat, bertukar cerita, pengalaman, dan membuka banyak kesempatan sebagai sarana pengembangan diri.

“Menjadi bagian dari PMM 4 adalah suatu kebanggaan yang tiada hentinya, sebab hanya bisa di ikuti sekali dalam seumur hidup, sebagaimana mestinya slogan PMM “Bertukar Sementara Bermakna Selamanya”, ujar Wanda.

Salah satu kegiatan PMM yang dilakukan ialah Observasi dan Wawancara Sejarah Kerajaan Istano Basa Pagaruyuang di Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat (11/05/2024). Istano Basa Pagaruyuang adalah salah satu kerajaan terbesar di Minangkabau. Nama Pagaruyuang berasal dari sejarah terdahulu pada masa raja pertama Majapahit. Salah satu putra kerajaan Majapahit bernama Adityawarman melakukan banyak sekali kontribusi pada masanya. Namun sayangnya beliau tidak dapat menjadi raja, sehingga kembali ke daerah pedalaman (Pagaruyuang atau Suruaso) untuk menjadi raja. Daerah kekuasan Istano Basa Pagaruyuang sendiri meliputi Sumatera Tengah, Sumatera Selatan hingga melewati Riau. Pada mulanya, Istano Basa Pagaruyuang hanyalah kerajaan kecil. Namun Adityawarman mampu mengekspansi untuk memperbanyak dan memperluas daerah kekuasaannya. Menurut beberapa sumber/informasi sejarah, eksistensi Istano Basa Pagaruyuang sebagai pemerintahan yang berdaulat berakhir di tahun 1833, tepatnya pada saat masa pemerintahan Rajo Alam. Sampai saat ini keluarga kerajaan masih ada begitupun dengan gelar yang masih diturunkan. Keluarganya tinggal di istana Silinduang Bulan (500 m sebelum Istano Basa Pagaruyuang). Namun untuk sistem pemerintahan kerajaan sudah dihapuskan sejak raja terakhir di abad 18 tahun 1819.

Untuk saat ini status Istano Basa Pagaruyuang merupakan warisan benda cagar budaya. Jika dilihat dari segi umur, nama Basa budaya tersebut dari abad ke-13. Namun, dari segi bangunannya tidak bisa disebut sebagai cagar budaya, dikarenakan gedung tersebut masih baru bahkan konstruksinya pun sudah berubah. Pada zaman dahulu, semuanya berbahan kain. Pada tahun 2007 sempat terjadi kebakaran pada Istano Basa Pagaruyuang akibat sambaran petir di salah satu atap bagonjong. Hanya 15% barang yang selamat dan 100% gedung habis terbakar. Barang-barang yang tersisa itu sebagian diletakkan di kediaman keluarga kerajaan dan beberapa oleh masyarakat didisplay sesuai dengan dokumentasi atau catatan pada saat itu. Sehingga beberapa peninggalan ataupun replikanya masih bisa dipajang di Istano Basa Pagaruyuang tersebut. Replikanya tersebut memang ada beberapa perubahan, hal tersebut dikarenakan catatan atas barang tersebut tidak ada atau tidak dapat dibuat karena keterbatasan SDM. Pada saat terjadi kebakaran, bangunan tersebut kembali dibangun menggunakan beton sehingga bangunan tersebut bukan sebagai cagar budaya namun berdiri di bawah kementerian pariwisata.

Perubahan tersebut mungkin bersifat mengurangi, namun tidak merubah makna dari benda tersebut. Jumlah dari gonjong di atas istana melambangkan rukun iman dan rukun islam karena mengikuti filosofi adat minangkabau. Filosofi tersebut berasal dari kesepakatan para ulama ketika islam masuk ke minangkabau ternyata adat minang banyak yang sesuai dengan ajaran islam sehingga pada abad ke-14, dijadikanlah sumpah sati bukik marapalam dimana pada saat itu pemimpin-pemimpin dan pemegang agama bersepakat bahwa adat minangkabau untuk kedepannya sesuai dengan adat islam.

Centre of Creativity

Facebook
YouTube
Instagram